Henri CAMEL - Wafatnya Bung Karno
  Home
  Kirim Kabar
  Buku Tamu
  Belajar Ibadah yuk...
  Artikel SOE HOK GIE
  Sejarah Mengatakan
  Wafatnya Bung Karno

Karim Oei sahabat Akrab Bung Karno menceritakan hal-hal yang mengharukan mengenai Bung Karno sebagai Berikut :

            Beberapa hari kemudian saya mendengar bahwa Bung Karno bertambah gawat. Saya menilpon Bung Hatta untuk pergi bersama-sama menjenguk Bung Karno. Setelah melewati pengawalan ketat, kami melangkah kekamarnya. Beliau tergelatak lemas di atas tempat tidur, tiada reaksi melihat kedatangan kami. Matanya memandang keatas sudah tak melihat apa-apa. Tangannya tidak lagi dapat digerakkannya, sehingga aku meraihnya untuk bersalaman. Matanya terbuka dan tidak bergerak sedikitpun. Nafas dan detak jantungnya terasa lemah sekali. Air mataku menetes tak tertahankan . Mungkin inilah terakhir kali aku melihat dan menjumpai teman akrabku ini, pikirku.

            Setelah kami keluar dari kamarnya, Bung Hatta mengatakan padaku bahwa mungkin tidak ada duanya orang yang telah memberikan seluruh kehidupannya bagi kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia seperti Bung Karno. Memang tak ada gading yang tak retak, karena itu sebagai manusia beliau mungkin ada kekurangannya. Tapi jasanya bagi nusa dan bangsa, sebagai proklamator dan pemersatu bangsa Indonesia, jelas tak mungkin dilupakan. Karena itu baiklah kita semuanya memaafkan beliau bila  ada kekurangan ataupun kesalahanya pada kita selama ini.

            Mingggu pagi 21 Juni 1970 saya mengikuti ceramah Hamka di Masjid Muhammadiyah, Tomang Macan, Jakarta Barat, tidak jauh letaknya dari rumahku. Saya pulang sebelum ceramah selesai karena badanku agak kurang sehat. Tak lama setelah berada di rumah, berdering tilpon. Ketika kuangkat ternyata Ibu Fatmawati yang berbicara. Suaranya tersendat-sendat, dan dengan kalimat terputus-putus Bu Fat berkata… “Teman baba sudah meninggal.” Darah kutersirap . Tanpa sadar saya menangis. Kusuruh orang menyampaikan berita dukacita itu kepada Hamka yang sedang memberi ceramah. Dengan suara serak diumumkannya kepada jemaah bahwa Bung Karno sudah menutup mata, baru saja. Hamka menangis sedih, tak sanggup meneruskan ceramahnya. Dia datang kerumahku. Kami benar-benar merasa kehilangan seorang kawan yang sangat kami cintai. Kehilangan kawan yang sangat berjasa bukan saja bagi Indonesia, juga dunia mengaku kebesarannya.

            Sore hari saya datang ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Ditempat itu sudah banyak orang berkumpul datang melayat, pejabat sipil dan militer, teman-teman lama dan anak-anak Bung Karno. Guntur dan adik-adiknya duduk dekat jenazah. Kuhampiri jenazah itu. Tanganku menampung, sambil berdoa: “Ya Allah, ampunilah Bung Karno. Kasihanilah ia, sejahterakanlah ia dan maafkanlah kesalahannya. Hormatilah kedatangannya dan lapangkan kuburnya. Bersihkanlah ia dari azab kubur dan api neraka.”

            Itulah terakhir kali saya melihat wajah teman akrabku Bung Karno. Tiada bergerak, tiada senyum. Tiada ada lagi mata yang tajam menantang seperti dulu. Tiada lagi temanku untuk berunding, atau berdebat. Wajah kaku dan dingin itu merenggut hatiku kembali ke zaman lalu. Saya ingat bagaimana kami berjuang bersama di Bengkulu, menggerakan Muhammadiyah, berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan.

            Pergaulan kami bersama Ibu Inggit dan Ibu Fatmawati semuanya berkecamuk dibenakku. Terlalu cepat ia pergi. Terlalu cepat pula meninggalkan dunia ini memenuhi panggilan Tuhannya. Mataku berlinang. Sungguh menyedihkan orang yang berjasa seperti Bung Karno, harus meninggal seperti ini.

 

            Sore itu jenazah di sembahyangkan. Banyak sekali yang turut serta menyembayangkannya. Sesuai keinginannya, Hamka bertindak menjadi Imam. Selesai sembahyang kami pulang.

            Tiga bulan kemudian saya menyempatkan diri berziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Ketika aku mendekati kuburan yang sederhana dengan batu besar di bagian kepala makam sahabatku itu, air mataku berlinang tak tertahankan… dan mulutku komat-kamit mengucapkan: “Assalamu’alikum, ya Bung Karno… semoga selamat dan sejahteralah engkau sahabatku… kami bermohon kepada Allah semoga engkau mendapat ampunan-Nya…”

            Kualihkan pandangan ke batu besar yang menjadi nisan kuburannya. Kubaca terbata-bata tulisan pada batu itu: di sini dimakamkan Bung Karno Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Lahir 6 Juni 1901-Wafat 21 Juni 1970.

            Saya seakan-akan berdialog kembali dengan Bung Karno. Jasadnya terbayang di mataku. Beliau terbaring dengan tenang, terbebas dari segala penderitaan lahir dan batin di dunia. Terbayang dalam batinku seolah-olah Bung Karno mendengar kata-kata dan doaku, seakan-akan kami berbicara berdua.

            Saya seakan mimpi. Ingatanku kembali kepada kenangan puluhan tahun yang lalu ketika bergaul dengan almarhum. Saya teringat perjumpaanku pertama kali dengan Bung Karno ketika diperkenalkan oleh H. Zamzam di Bandung, kemudian hubungan kami yang begitu erat dan intim di Bengkulu. Semuanya kini tinggal kenangan. Pertemuan kami pertama kali di Bandung 1932 dan kedatangan Bung Karno ke Bengkulu pada 1938 ternyata banyak sekali mempengaruhi dan memberi arah bagi garis kehidupan. Aku banyak belajar dari beliau. Dalam beberapa hal antara kami berdua terasa saling isi-mengisi.

Today, there have been 1 visitors (1 hits) on this page!
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free